Politik dalam Pandangan Islam
Islam adalah agama
yang syammil mutakammil (sempurna dan paripurna), islam bukan hanya
mengatur masalah ritual ubudiyah saja, tapi seluruh aspek kehidupan
manusia, bahkan sampai ke hal-hal terkecil dalam kehidupan manusia.
Jika islam hanya mengatur
masalah-masalah ibadah saja, tanpa mengatur masalah sosial budaya,
pendidikan, tata Negara/pemerintahan, dan sosial politik, maka sama saja
islam dengan agama lain, tidak ada keistimewaan islam dibandingkan
agama-agama lainnya.
Dalam masalah politik,
banyak kalangan yang berpendapat bahwa islam tidak mengenal politik,
antara agama dan politik tidak bisa disatukan, dan banyak pendapat
lainnya. Namun saya berpendapat, pendapat yang mengatakan islam tidak
berpolitik dan tidak mengatur masalah politik sehingga dalam islam tidak
dibernarkan berpolitik adalah sebuah pendapat yang sebenarnya sama saja
mengatakan bahwa islam itu agama yang tidak sempurna dan paripurna,
islam agama yang tidak menjangkau semua aspek kehidupan.
Aqidah Islam bersifat komprehensif dan menyeluruh, ia berbeda dari semua umat karena konsepsinya tentang ubudiyah. Umat
Islam meyakini bahwa Allah Maha Esa, dan meyakini bahwa Allah meliputi
setiap gerak manusia dalam semua urusan. Dia adalah Pencipta dan Pemberi
Rizki kepada hamba-Nya. Dia juga pembuat undang-undang untuk mereka
menyangkut semua aspek kehidupan. Islam tidak membatasi ubudiyah kepada
Allah hanya menyangkut aspek spiritual belaka, sementara aspek kehidupan
lainnya ditujukan kepada selain-Nya. Misalnya, membuang nilai-nilai
aturan Allah dari kehidupan politik, ekonomi, dan moral. Islam menilai
pemisahan ini sebagai kesesatan dan penyesatan terhadap umat manusia,
dan bertentangan dengan aksiomatik islam yang hanif.
Sementara itu, umat-umat
lain membuat rumusan, “serahkanlah kepada Allah apa yang menjadi
wewenang Allah, dan serahkan kepada kaisar apa yang menjadi kewenangan
kaisar.” Pemikiran yang memisahkan agama dari Negara seperti itu
merupakan suatu kebathilan yang harus dilenyapkan. Islam tidak mengenal
pemisahan agama dari Negara. (buku Menuju Jama’atul Muslimin, karya;
Husssain bin Muhammad bin Ali jabir, M.A.). Firman Allah:
“dan mereka memperutukkan
bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan
Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, ‘ ini untuk
Allah dan ini untuk berhala-berhala kami…..’”. (QS. Al-An’am: 136)
Sangat menarik jika kita memperhatikan permintaan Nabi Yusuf kepada raja mesir, hal ini di abadikan Allah dalam Al-Qur’an.
Berkata
Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”. (QS. Yusuf:
55).
Ayat ini menggambarkan kepada
kita bagaimana pada waktu itu Nabi Yusuf minta kekuasaan kepada raja
mesir, dan ini menggambarkan bahwa menggapai kekuasaan untuk
kemaslahatan umat diperbolehkan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan
kita juga diperbolehkan menyebut kelebihan yang kita punya kalau kita
sadar dengan kelebihan kita tersebut supaya orang percaya dengan kita
untuk memegang kekuasaan.
Bukan hanya Nabi Yusuf yang meminta kekuasaan, Nabi Sulaimana juga pernah berdoa meminta kerajaan/kekuasaan kepada Allah.
Ia
berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan
yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Pemberi”. (QS. Shaad: 35)
Dua ayat
Al-Qur’an diatas sudah cukuplah menerangkan kepada kita bahwa mengapai
kekuasaan untuk kemaslahatan umat itu diperbolehkan, bahkan diwajibkan.
Apakah masih ada alasan bagi kita mengingkari politik dalam islam?
Dalam Al-Qur’an juga banyak menyebutkan ayat tentang imamah dan Negara (QS. An-Nisa: 58-59, QS. An-Nisa: 83, QS. Al-Maidah: 49-50, QS. Al-Maidah: 44, QS. Al-Anfal: , QS. Al-Hajj: 41, dll). Belum lagi terdapat ratusan hadist Nabi yang berbicara tentang kepemimpinan dan Negara.
Alangkah menarik apa yang
dikatakan oleh ustadz Hasan Al-Banna; “Islam itu bukan sebagaimana makna
yang dikendaki para musuh agar umat islam terkurung dan terikat
didalamnya. Islam adalah aqidah dan ibadah, Negara dan kewarganegaraan,
toleransi dan kekuatan, moral dan material, peradaban dan
perundang-undangan. Sesungguhnya seorang muslim dengan hukum islamnya
dituntut untuk memperhatikan persoalan umat. Barangsiapa yang tidak
memperhatikan persoalan kaum muslimin, dia bukan termasuk golongan
mereka.” (disampaikan dalam muktamar mahasiswa ikhwanul muslimin bulan
muharram 1357 H.)
Hujjatul islam Imam Gozali
pernah menyampaikan “kewajiban menjalankan syariat dan meraih kekuasaan
politik adalah saudara kembar”.
Pemisahan politik dan agama
selain karena kurangnya pemahaman, karena rasa putus asa dan sudah
terlanjur terbentuk pandangan negatif pada masyarakat terhada politik,
juga karena kepentingan dari pihak-pihak yang tidak suka akan kejayaan
islam, seperti ungkapan perintis Jamaah Islam Liberal (JIL) Nurcholis
Madjid, Islam Yes, Partai No.. Mereka takut jika islam berpolitik, maka islam akan mencapai kejayaan seperti dulu.
Betullah apa yang dikatakan oleh
Ustadz Rahmat Abdullah: “ada sejenis orang yang mulai putus asa dengan
dinamika sosial. Akhirnya mereka mengurung diri dalam sangkar emas
ritual dan mengabaikan peran sosial politik. …..kelak datanglah beberapa
murid orientalis dan kolonialis mengharaman umat berpolitik dan
membiarkan musuh berpolitik merugikan umat. Dengan itu mereka
mendapatkan perlindungan dan kekayaan….
Referensi:
1. Al-Qur’anul Karim
2. Riyadhus Sholihin, Karya Imam Nawawi
3. Tafsir Ibnu Katsir
4. Menuju Jamaatul Muslimin, Karya Husssain bin Muhammad bin Ali jabir, M.A.
5. Fiqh politik Hasan Al-Banna, Karya Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.
6. Pilar-Pilar Asasi, Karya KH. Rahmat Abdullah.
7. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Karya Hasan Al-Banna.
8. Biarkan Dakwah Bermertamorfosa, Karya Andree
9. Al-Islam, Karya Sa’id Hawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar